Nilam Penghasil Dolar yang terabaikan

Penghasil Dolar yang terabaikan
Oleh : Alja Yusnadi
(Direktur Pemasaran UD. KNH)
Mudah tumbuh, batang sepinggang, kalau subur mirip bunga, digunakan sebagai bahan baku minyak wangi, serta menjadi topangan ekonomi masyarakat sekitar, harganya mencapai jutaan rupiah (kalau sedang naik).




Secara singkat, tulisan pembuka diatas menggambarkan tentang Nilam. Bagi anda yang berdomisili di kota-kota besar, termasuk Banda Aceh, nama ini agak asing, paling dengar namanya saja. Tidak begitu bagi rakyat Aceh yang berdomisili di daerah pesisir, terutama Aceh Selatan, sebagian penduduknya menggantungkan hidup pada Nilam, secara otomatis, tanaman ini sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Sejak Pertengahan 2007, masyarakat Aceh Selatan yang urban ke Banda Aceh memilih pulang ke kampung halaman, padahal selama konflik sudah melang-lang buana ke beberapa daerah yang agak aman, seperti Banda Aceh, Medan, dan sekitarnya.
Apa gerangan?, harga minyak nilam kembali mencapai angka Rp. 1, 000, 000,-.
Kondisi ini memicu semangat masyarakat untuk bertani nilam. Bukan hanya petani, mereka yang mempunyai modal, seperti pegawai negeri, pengusaha, menyisihkan uangnya untuk “bertani” nilam.

Sejak tahun 1990, harga minyak nilam fluktuatif, tidak berdiri pada satu angka pasar. Mulai dari delapan puluh ribu rupiah, sampai Satu setengah Juta per kilogramnya. Namun, didominasi harga rendah, kisaran delapan puluh ribu sampai dua ratus ribu rupiah. Sejak rentang waktu 1990-2007, baru dua kali harga minyak nilam melampaui angka Satu Juta. Sepuluh tahun sebelumnya (1997), mencapai angka satu juta setengah, kemudian turun sampai ke titik terendah delapan puluh ribu, harga ini tidak berubah secara signifikan. Pada tahun 2007, harga minyak nilam kembali mencapai puncaknya, selama beberapa bulan, hagra mampu bertahan siatas Satu Juta rupiah, sampai sekarang, bertahan pada angka Enam ratus ribu rupiah. Kondisi ini membuat petani nilam bingung.
Untuk menelusuri masalah Nilam, unutuk edisi ini, Nangroe menurunkan tim reportase ke salah satu daerah penghasil nilam, yaitu Aceh Selatan.

***
Orang sering menyebutnya Kota naga. Cerita turun-temurun masyarakat sekitar, seorang manusia yang disebut Tuan Tapa, “bertengkar” dengan sepasang naga. Perihalnya, pada masa itu rombongan pelayar dari negeri Cina melewati Lautan Hindia, setiba di sekitar Aceh Selatan, perahu yang mereka gunakan di hadang angin kencang. Prahara tersebut mendamparkan mereka ke tepian pantai. Salah satu dari mereka adalah seorang anak kecil yang merupakan anak paduka yang berlayar, seterusnya putri ini disebut Putri Naga. Melihat peristiwa tersebut, sepasang Naga menyelematkan sang putri yang terpisah dari kedua orang tuanya, serta rombongan.

Setelah melalui rentangan waktu, akhirnya sang putri kecil tumbuh menjadi seorang putri dewasa yang hidup bersama sang Naga. Bahagia menyelimuti hari-hari sang naga, karena telah lama menantikan “buah hati” yang tak kunjung tiba, tapi malang bagi paduka, hidup tanpa sibuah hati begitu tak berarti. Tak sanggup menanggung hati, akhirnya paduka mengumpulkan sejumlah pasukan untuk kembali berlayar mencari sang putri.
Disinlah letak sejarahnya, setelah melakukan pelayaran jauh, akhirnya rombongan tiba disekitar bibir Pantai Aceh Selatan. Layaknya orang kehilangan, paduka beserta pasukan melakukan pencarian, lama-kelamaan, akhirnya rombongan menemukan tuan Putri. Tapi sayang, kini tuan Putri tak lagi sendiri, ada sepasang Naga yang menjaga hari-hari nya. Kesedihan yang kedua kembali singgah di hati orang tuanya. Rombongan yang mirip pencari fakta ini menggunakan siasat, mereka menunggu Tuan Putri sendiri, serta menanti kedua Naga silap. Tiba saatnya rombongan menyelinap, ketika Naga lengah, rombongan mencari kesempatan untuk membawa lari Putri. Tak semudah itu, usaha mereka mendapat perlawanan serius dari kedua naga. Keributan tak terelakkan, keduabelah pihak saling memperebutkan Putri. Kejadian ini membangunankan penguhi daerah setempat yang sedang bertapa, dalam cerita daerah, tokoh ini disebut Tuan Tapa. Melihat kegaduhan ini, Tuan Tapa turun dari pertapaannya, setelah mendapat penjelasan dari paduka seberang perihal masalahnya, Tuan Tapa meminta Naga untuk menyerahkan sang putri, tapi sayang, kedua naga telah jatuh hati kepada Tuan Putri. Perkelahian tak dapat dihindari.

Tuan Tapa menghunuskan tongkatnya kearah naga, darah dan hati naga berserakan. Naga memilih lari, menabrak pulau yang terletak dikecamatan Bakongan, pulau terbelah menjadi dua, sambil berlari tak tentu arah, naga memutar-mutar ekornya, sambil menabrak setiap apa saja yang ada didepannya. Sampai di daerah Aceh Singkil, keganasan Naga memuncak, dia menabrak pulau sehingga membentuk gugusan pulau kecil yang sekarang dikenal dengan pulau Banyak. Tongkat Tuan Tapa terpelanting didekat Gunung Lampu, sebuah Gunung di Kecamatan Aceh Selatan.
Begitulah penuturan Darwis, salah seorang masyarakat Kecamatan Pasie Raja, Aceh Selatan yang juga seorang petani Nilam. Walau hanya cerita rakyat, akan tetapi sejarah tersebut menyisakan bukti dalam bentuk benda. Seperti, darah naga tadi dinisbatkan menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Tapak Tuan, Batu Hitam namanya, desa yang terletak di bibir pantai ini menurut cerita merupakan daerah yang dilumuri hati sang Naga. Selanjutnya Batu Merah, Merah dalam kata ini bermakna daerah yang dilumuri darah sang naga. Pulau di Kecamatan Bakongan tadi juga sekarang disebut dengan Pulau Dua. Lekukan bukit di sekitar kelurahan Lhok Bengkuang juga menggambarkan Putri yang sedang tidur dengan rambut terurai, panorama itu kontras terlihat diwaktu sore, ketika raja siang memasuki peraduannya.
Masih ada beberapa tempat lagi yang berhubungan dengan legenda tersebut. Sampai saat ini, Kota kecil yang terletak dibibir pantai Samudera Hindia dinisbatkan menjadi Kota Naga dengan segala pernak-perniknya. Entah ada hubungan dengan cerita tadi atau tidak, tanah dataran sangat subur ditumbuhi Nilam.
Nilam atau dalam bahasa Latin disebut Pogestemon cablin Benth merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri. Minyak Nilam berfungsi sebagai sumber devisa negara dan sumber pendapatan petani. Dalam pengelolaannya melibatkan banyak pengrajin serta menyerap ribuan tenaga kerja. Teknologi pengolahan minyak nilam ditingkat petani umumnya masih tradisional hal ini disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan faktor terbatas-nya teknologi yang diakses sehingga minyak yang dihasilkan mutunya masih rendah. Seperti halnya yang sedang terjadi di Aceh Selatan, tidak ada angka pasti akumulasi hasil minyak nilam. Pemantauan Nanggroe dibeberapa tempat pengolahan minyak nilam, hampir semuanya menggunakan alat penyulingan sederhana, “ Ketel (alat penyuling-red) ini sudah ada sejak dari orang tua kami,” ungkap Syafruddin, pengusaha minyak nilam lokal. Teknologi yang digunakan juga masih sangat sederhana, hanya menggunakan Drum sebagai media penampung dan menggunakan kayu bakar sebagai pemanas air yang menjadi tenaga uap.
Nilam sendiri menjadi tanaman primadona di daerah ini, selain mudah dalam pemeliharaan, nilam juga menjadi gantungan hidup petani sekitar. “Selama ini, kami mengantungkan hidup lewat bertani nilam,” ujar Junaidi, warga Ladang Teungoh, Kecamatan Pasie raja. Bukan hanya Junaidi, setiap sore hari, puluhan ibu-ibu, remaja, pemuda, laki-laki paroh baya serempak pulang dari kebun. Walau harus mendaki gunung, keletihan yang mereka rasakan terobati oleh “kemungilan” sang Primadona. Betapa tidak, tanaman kebun yang dikembang-biakkan dengan stek ini menjadi gantungan hidup bagi petani. “jika pegawai memiliki kantor sebagai tempat bekerja, maka bagi kami kebun adalah kantor,” ketus Junaidi. Pemuda tamatan SMA ini sudah mengenal nilam sejak dari kecil. Orang tuanya juga berprofesi sebagai petani nilam. Kebanyakan masyarakat Pasie Raja adalah petani nilam.” Penduduk disini kebanyakan petani Nilam,” Ucap Syarbunis, Geuchik Gampoeng Ladang Teungoh. Bahkan. Geuchik ini sendiri sudah lama menjadi petani Nilam.
Untuk memperoleh hasil, petani harus menunggu selama delapan bulan setelah massa tanam. “Cara tanam nya gampang,” ucap Fadli, petani muda ini bercerita panjang tentang proses bertani nilam. “Nilam yang sudah dipanen, dipotong batang nya sepanjang satu jengkal, lalu ditanam. Maksud Fadli adalah Stek. Setelah ditanam, lanjutnya lagi, nilam akan tumbuh dengan sendirinya, ketika sudah berusia sekitar dua bulan, pertumbuhan nilam diikuti oleh pertumbuhan rumput disekitarnya, tugas petani adalah menyiangi rumput agar tidak mengganggu pertumbuhan nilam. Dalam bahasa lokal, petani sering menyebutnya Reut Naleung (menyiangi rumput).

Dalam pertumbuhannya, kadang-kadang nilam didera penyakit, mengakibatkan pertumbuhan terganggu. Dalam bahasa lokal, petani sering menyebut gangguan terset dengan penyakit Budok, jika di hinggapinya, nilam tidak bisa tumbuh dengan sempurna, sehingga berpengaruh terhadap hasil panen. “Sejauh ini belum ada bantuan dari pemerintah,” ungkap Sarmawi, petani muda lain. Untuk mengatasi penyakit ini, biasanya petani menggunakan pestisida. Biasanya penyemprotan Pestisida atau zat kimia yang lain dilakukan pada bulan ketiga atau keempat. Setelah umur nilam mencapai usia tujuh atau delapan bulan, ujung daun akan bertabrakan, inilah yang menjadi patokan petani tentang usia siap panen. Biasanya, petani menanam nilam dalam jumlah besar di areal pegunungan, sehingga membutuhkan tenaga yang besar untuk menurunkan ke perkampungan, karena ketel berada diperkampungan.


Setelah panen, petani mengolah menjadi minyak dengan menggunakan jasa ketel. Ketel terbuat dari Drum, satu drum ini idealnya diisi sebanyak empat puluh kilogram. Satu drum akan menghasilkan minyak antara delapan Ons sampai satu kilogram. Petani membayar satu setengah ons minyak nilam untuk setiap satu drum kepada pemilik ketel sebagai “sewa”. Jika petani rajin, sekali panen mereka mampu mencapai sekitar lima puluh drum daun nilam kering. Jika sudah menjadi minyak dan setelah potong sewa ketel, petani bisa menghasilkan sekitar 35-40 Kilogram minyak nilam. Seperti yang dikerjakan Fadli. Tapi, tak semua petani seulet Fadli, dari beberapa petani nilam yang berhasil ditemui Nanggroe, rata-rata dari mereka hanya bisa menggarap sekitar 15 drum nilam kering.
Dengan harga minyak nilam mampu bertahan pada angka Lima Ratus Ribu Rupiah, petani mempunyai penghasilan sekitar dua juta satu bulan, namun harga minyak nilam sangat “liar”. Jika harga minyak nilam mampu bertahan sekitar Lima ratus ribu, kami sudah bisa bertahan,” ungkap Fadli lagi. Dalam satu decade terakhir, harga minyak nilam hanya mencapai harga tertinggi pada tahun 1997 dan 2007. Saat itu harga minyak nilam mencapai angka satu jutaan rupiah. Hal ini diakui oleh Syafruddin, “ sekarang harga minyak nilam sekitar enam ratus ribu rupiah, pada tahun 1997 dan 2007, harga minyak nilam mencapai puncaknya, tapi kondisi ini tak bertahan lama, hanya sekitar, satu dua bula,” ungkapnya.
Kondisi seperti ini sangat menyulitkan petani. Padahal, nilam menyumbang devisa Negara. Ekspor minyak nilam Indonesia keluar negeri mencapai puncak pada tahun 1993, sebesar 2.835 ton dengan nilai devisa US$ 20.691.000. Jika melihat potensinya, pemerintah sudah seharusnya memikirkan solusi agar harga minyak nilam dapat dipertahankan, tidak dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, kesejahteraan petani nilam dapat terangkat, devisa negarapun dapat digenjot lewat minyak nilam.
(Tulisan ini pernah dimuat di majalah nanggroe)

Komentar